Glitter Words

31 Mei 2010

Perspektif Kebudayaan Bugis

I. Pendahuluan

Istilah rekonsiliasai mengandung arti perdamaian setelah sebelumnya terjadi diskomunikasi (lihat Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius 1997, hlm 150). Secara funksional istilah ini mengandung arti sebagai suatu upaya untuk menghimpun dan membangun kembali persatuan dan kesatuan di antara para warga masyarakat.

Rekonsiliasi secara proses merupakan awal dari sebuah gerakan kerukunan dan perdamaian yang dinamis, sekaligus sebagai akhir dari sebuah proses perpecahan internal masyarakat. Sebagai sebuah gerakan menunjukkan bahwa terdapat visi dan misi yang akan dicapai yang tentu saja bermuara dari moralitas dan etika yang tersepakati oleh pelaku rekonsiliasi.
Salah satu segmen masyarakat yang berbentuk suku di Sulawesi Selatan adalah suku Bugis. Suku ini mendiami Sulawesi Selatan dan beberapa daerah di Nusantara ini. Sebagai suku yang mempunyai pandangan hidup yang dikenal dari lontara dan membentuk pola pikir dan perilaku dalam bentuk budaya, maka permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana konsep-konsep rekonsiliasi yang dihadapi dari budaya Bugis. Permasalahan ini penting dibahas untuk kepentingan ilmiah dan praktis. Yang pertama berkenaan dengan pengembangan sejumlah pendekatan dalam merumuskan rekonsiliasi yang tampaknya belum sepenuhnya memberikan hasil yang maksimal dalam meredam gejolak bangsa dewasa ini dan yang kedua adalah berkenaan dengan kebutuhan suku Bugis dalam pengamalam nilai-nilai yang dianutnya.


II. Istilah rekonsiliasi dalam Kebudayaan Bugis.

Terdapat literatur yang menunjuk kata Simallappareng, yang diartikan dengan saling lapang dada. Seperti dalam ungkapan Simallapparengngi rekkuwa purai sisala masseajing (saling melapangkan hati tanpa kecanggungan sesudah berselisih dengan sanak keluarganya) (Pernyataan Arung Matoa La Mungkace To Uddamang, 1567-1607 dalam A. Hasan Machmud, Silasa, t.tp.: Bhakti Centra Baru, t.th., hlm. 36). Secara struktural kata ini terdiri atas Si, Malappa, rengngi yang berakar dari kata malappa yang berarti lapang.
Akar kata Malappa dipergunakan dalam hal yang bersifat kongkrit seperti dalam ungkapan malappa bolae (rumah itu lapang) dan tidak ditemukan ungkapan untuk hal yang abstrak. Penggunaan kata ini dalam konteks kongkrit, dapat saja diterima karena didahului awalan si yang berarti "saling" dan akhiran reng yang keduanya berfungsi menghubungkan kata selanjutnya rekkuwa. Kata sisala terdiri dari awalan si (saling) dan kata dasar sala yang berarti salah. Karena itu kata sisala berarti saling menyalahkan. Kata ini berkonotasi psikhis, sehingga untuk hal-hal yang menggambarkan "saling menyalahkan" dalam konteks fisik dipergunakan kata mallaga, yang berarti saling menyalahkan yang mengantar pada bentrokan fisik.
Atas uraian kata kunci "Simallaparengging" dan "Sisala" dalam ungkapan tersebut mengandung konsep saling melapangkan hati setelah sebelumnya terjadi perbedaan pandangan.
Kata masseajing (sanak keluarga) dalam ungkapan dimaksud, mengandung arti ruang lingkup perbedaan pandangan yaitu terbatas pada hubungan antar warga dalam arti luas. Dengan pendekatan kebahasaan tersebut, terlihat juga dalam judul ungkapan ini yaitu duwai padecengi tana: dua hal yang memperbaiki negara . Kata tana menunjukkan negara, sebagai tempat dalam melakukan komunikasi internal sesama warga.
Dengan uraian di atas tampak bahwa makna dasar dari kata "malappa" adalah kelapangan hati baik secara kongkrit maupun abstrak. Dengan demikian kata tersebut relevan dengan esensi rekonsiliasi, yang mengandung arti psikhis dan fisik serta bersifat dinamik.


III. Prinsip-prinsip Filosofis Rekonsiliasi


Yang dimaksud dengan rekonsiliasi dalam budaya Bugis adalah seperangkat pemikiran yang dipahami dari kebudayaan Bugis yang mendasari terwujudnya rekonsiliasi.

1. Rupatauwe Atannai Dewatae

Dalam literatur ditemukan ungkapan Tellu riala Sappo (tiga hal dijadikan pagar) Tau'e ridewata (salah satu diantaranya adalah takut kepada Tuhan). Pernyataan ini menggambarkan adanya hubungan vertikal manusia dengan Tuhan-nya, mencapai puncaknya dalam wujud taqwa, dan membentuk kepribadian dalam diri seorang hamba. Aspek lain menunjukkan bahwa manusia adalah hamba Tuhan, yang dalam berinteraksi sesamanya, tidak luput dari sifat keterbatasan yang tentu saja berbeda dengan sifat Tuhan dewata.
Keterbatasan manusia dalam melaksanakan interaksi antar sesama dimaksudkan untuk mencapai unganna decengge ri liono kebaikan di dunia, terwujud dalam ketidakmampuan manusia secara permanen untuk tidak berbuat kesalahan sebagai aset yang dapat dimaafkan oleh sesama. Pandangan ini didasari dari pernyataan di bawah ini:
Tellui Uwangenna decenna rilino: Pesangkaienggi alena maggau maja; pesangkaienggi alena makkeda ada maja; pesangkaienggi nawa-nawanna maja. Tiga macam kebaikan dunia: Mencegah dirinya berbuat buruk; mencegah dirinya berbicara buruk; mencegah dirinya berfikir buruk.
Kemampuan mengendalikan diri dalam tiga aspek kepribadian manusia, mengantarkan yang bersangkutan untuk memperoleh uwangena lino kebaikan dunia. Hal lain adalah bahwa secara tersurat pernyataan ini mengakui perlunya pembinaan kepribadian tersebut dan dalam kenyataannya, tentu saja tidak semua manusia dapat dengan mudah mencapai tri sukses pembinaan kepribadian tersebut.


2. Asabbarakeng (Kesabaran)

Asabarakeng adalah salah satu nilai yang berkembang dalam budaya Bugis (Prof. Dr. H.A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Ujung Pandang: Hasanuddin Press, 1992, hlm 100). Sebuah pernyataan menarik: emakkunrai sappoi alemu nasaba sirimu, e warowane sappoi alemu nasaba asabbarakeng (Hai perempuan pagari dirimu dengan kehormatanmu, hai pria pagari dirimu dengan kesabaranmu) (A. Hasan, op.cit., hlm 30). Karena itu, asabbarakeng adalah berfungsi sebagai perisai dan secara sesensial asabbarakeng mengandung arti siri atau kehormatan.
Konsep yang terkandung dari asabbarakeng adalah pengendalian diri dari hal-hal yang dapat menjermuskan kehormatan seseorang. Dan secara implikatif konsep ini dapat melahirkan sikap siaddampengeng saling memaafkan atas terwujudnya potensi negatif seseorang; dan sitiroang deceng (mengarahkan kepada hal-hal yang bermanfaat) sebagai upaya perwujudan potensi positif sesama manusia.

Dalam kaitannya dengan prinsip ini, nampak bahwa Silappareng (Rekonsiliasi) harus dilihat dari wujud dari kesabaran untuk melaksanakan rekonsiliasi, sebab tanpa prinsip ini, maka dendam pun sebagai bias-bias perbuatan negatif tak dapat terkalahkan.

3. Alempureng (Kejujuran)

Sebuah dialog interaktif antara Lamellong Kajao Lalido dengan Raja Bone prihal kejujuran. Raja Bone bertanya aga appongenna accae Kajao? (apa pangkalnya kecakapan Kajao?); Kajao menjawab: Lempu'e (Kejujuran) (Ibid). Selanjutnya diketahui bahwa Sabbinna lempu'e limai (Bukti dari kejujuran ada lima): Narekko salai nangawwi asalanna (Kalau bersalah ia mengakui kesalahannya); Narekko rionroi sala naddampengengngi tau ripasalae (Kalau ditempati bersalah ia maafkan orang yang bersalah); Narekko risanrekiwi de napacekongeng (Kalau diharapkan/disandari ia tidak mengecewakan); Narekko rirennuangngi de naripabelleang (Apabila dipercaya is tidak menipu); Narekko majjanciwi narupaiwi jancinna (Kalau berjanji ia menepati janji) (Ibid hlm 16). Implementasi kejujuran tersebut cenderung mengandung sisi internal yakni memberikan kesiapan psikologis untuk mengakui kesalahan yang diperbuatnya dan kesiapan tidak mengecewakan orang lain. Konsep pembinaan kepribadian secara internal ini dapat saja diterima dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, karena bukankah masyarakat yang berperdaban merupakan kumpulan dari pribadi-pribadi yang memiliki kehandalan kepribadian secara internal.



IV. Pendekatan dalam terwujudnya Rekonsiliasi

Secara teoretis pendekatan adalah pola pikir yang terpakai dalam mengamati sesuatu. Dalam kebudayaan Bugis pendekatan terpakai dalam mewujudkan rekonsiliasi di antaranya:
a. Manganro Ri ade';
b. Mallimpo ade'.



Manganro ri ade adalah relevan dengan petisi atau permohonan yang dikemukakan oleh masyarakat kepada raja atau pemerintah dalam rangka memenuhi kesejahteran warga masyarakat. Misalnya, masyarakat memohon kesiapan raja memimpin doa mohon hujan (lihat Prof. Dr. Mattulada, Latoa, Ujung Pandang: Hasanudin Universitas Press, 1995, hlm. 448). Dalam konteks ini kiranya pendekatan ini relevan dengan pendekatan yuridis, yaitu permohonan masyarakat kepada pemerintah untuk menetapkan aturan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi.



Mallimpo Ade yaitu semacam tindakan protes kepada raja atau pemerintah atas kesewenang-wenagan yang merajelala dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini kiranya pendekatan ini relevan dengan pendekatan sosial politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Slide